Cantik Dapat Timbulkan Gangguan Psikis!
Januari 12, 2021oleh: amsgrey
Cantik. Sebuah kata yang tidak bernyawa ternyata mampu membuat banyak wanita mengorbankan segala. Mereka terbelenggu dalam usaha meraih pengakuan atas kesempurnaan kondisi fisik yang tidak kunjung mereka punya. Tuntutan sosial agaknya terlalu mendikte wanita tentang penampilan seperti apa yang harus ditampilkan. Putih bersih, tubuh langsing, rambut lurus, wajah bening, dan masih banyak doktrin kecantikan yang membuat wanita terobsesi meraihnya.
Berangkat dari konstruksi sosial yang
menetapkan standardisasi kecantikan, kemudian membeku dan membentuk perspektif
personal yang mengonfirmasi arti cantik itu sendiri. Sempitnya pendefinisian
cantik cukup mengekang sebagian wanita yang tidak bisa memenuhi tolok ukur yang
ada. Mereka yang tidak memiliki bentuk fisik sesuai standar kerap kali menerima
komentar buruk tentang penampilan.
Umumnya, manusia memang cenderung berusaha
meraih kesempurnaan. Namun, obsesi yang ada terkadang dapat menimbulkan gangguan.
Terlalu fokus terhadap kekurangan yang menurutnya ada pada penampilannya
ternyata merupakan sebuah indikasi bahwa seseorang mungkin saja menderita
Gangguan Dismorfik Tubuh (Body Dysmorphic
Disorder).
Menurut Edmawati dkk. (dalam Adlya, 2019) Body Dysmorphic Disorder (BDD) diartikan
sebagai sebuah perasaan tidak puas yang berlebihan terhadap kondisi tubuh,
serta pemikiran negatif dan irrasional tentang keadaan tubuh yang dimiliki.
Pemikiran negatif yang timbul disebabkan oleh adanya tuntutan dari kacamata
sosial tentang bentuk cantik yang harus dimiliki.
Pikiran irrasional tersebut mengantarkan
mereka pada sebuah perilaku evaluasi diri yang dapat membuat mereka
mengonfirmasi kekurangan yang ada pada tubuhnya sendiri. Perempuan dengan
tingkat kepercayaan diri yang rendah terhadap penampilannya cenderung melihat
cermin secara berkala untuk meneliti setiap jengkal tubuh yang ia punya. Tidak
jarang pula mereka menempatkan diri pada kursi perbandingan yang berujung pada
peneguhan terhadap kekurangan fisik yang ada.
Seseorang yang menderita gangguan ini
seringkali memiliki citra tubuh yang buruk. Mereka mengalami stress dan cemas
berlebih karena bagian tubuh yang tidak sesuai dengan harapan. Agaknya tidak
jarang bagi penderita melakukan perilaku-perilaku ekstrem untuk mencapai
standar kecantikan yang ada, seperti diet ketat, operasi plastik, atau bahkan
menarik diri dari hubungan sosial karena perasaan cemas berlebih tentang
penampilannya.
Salah satu cara psikolog dalam mengobati
pasien BDD adalah dengan mengintervensi psikologis pasien melalui Cognitive-Behavioral Therapy (CBT).
Menurut Spiegler & Guevremont (dalam Adlya, 2019) CBT merupakan metode
psikoterapi yang berfokus pada modifikasi kognisi secara langsung. Individu
yang berhasil mengubah pikiran maladaptifnya akan mengubah perilakunya juga
secara tidak langsung.
Tolok ukur kondisi fisik yang tertanam
kuat dalam pikiran seseorang perlu dilenyapkan. Kekeliruan dalam pemaknaan
cantik yang didasari oleh konstruksi budaya juga perlu diluruskan. Cantik
seharusnya bukanlah sebuah kata yang tidak bernyawa karena cantik memiliki
sebuah makna yang dalam dan berbeda bagi setiap manusia.
“Jangan mau didikte oleh ukuran cantik
yang dibuat orang lain. Ambil definisi cantikmu sendiri,” kata Najwa Shihab
dalam akun Youtube-nya (21/04/2020).
Definisi cantik memang tidak butuh keseragaman. Makna cantik hanya butuh perluasan. Wanita tidak perlu lagi menduduki kursi perbandingan. Karena
sejatinya, kecantikan bukan untuk diperlombakan.
Oleh: amsgrey.
Daftar
Pustaka
Adlya, S. I., & Zola,
N. (2020). Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder pada Remaja. JRTI
(Jurnal Riset Tindakan Indonesia), 4(2).
Nourmalita, M. (2016). Pengaruh Citra Tubuh terhadap Gejala Body Dismorphic Disorder yang Dimediasi Harga Diri pada Remaja Putri. In Seminar ASEAN 2nd Psychology & Humanity. Psychology Forum UMM (pp. 546-555).
1 komentar
Setuju ��
BalasHapus